Siasat Ditengah Hustle Culture dan Burnout
Budaya kerja keras nan cepat atau hustle culture memberikan lebih banyak dampak negatif daripada positif. Meskipun demikian, mau tidak mau kita masih memelihara budaya tersebut dikarenakan tuntutan pekerjaan. Kita sulit menghindari situasi hustle culture dan akhirnya tidak jarang mengalami burnout. Lalu, bagaimana cara meminimalisir kerja terlalu keras dan burnout? Yuk, kita baca beberapa saran di bawah ini.
● Membuat jadwal dan memperlahan ritme kerja.
Kamu bisa mulai dengan menulis jadwal mingguan secara saksama. Pertama, tulis dan susun prioritas pekerjaan. Kedua, sisipkan waktu istirahat diantara waktu kerja. Ketiga, jangan lupa untuk meluangkan waktu istirahat di hari-hari yang tersisa.
Orang cenderung menyelesaikan seluruh tugasnya atau pekerjaannya sedini mungkin. Itu karena ia berpikir akan mendapatkan lebih banyak waktu di sisa hari. Padahal, memaksa tubuh untuk bekerja terlalu keras tidak memberikanmu benefit. Kamu perlu sesekali memperlambat ritme kerjamu dan mulai cermat dalam menyusun jadwal pekerjaan. Alhasil, kamu bisa lebih produktif dan mencegah munculnya burnout.
● Fokus pada tujuan pribadi.
Umumnya, kita sering lupa akan tujuan pribadi di tengah kesibukan. Saking sibuknya, kita pun lupa bahwa kita pernah mempunyai aktivitas menyenangkan di luar pekerjaan. Lambat laun, kita tidak sadar telah menyingkirkan waktu untuk hobi, bertemu keluarga dan teman, atau merawat tubuh. Semua mulai berubah ketika muncul alasan “aku tidak punya waktu”.
Sisihkan waktu untuk menyayangi dirimu sendiri. Kamu perlu kembali terhubung dengan tubuhmu, hobimu, keluargamu, atau temanmu. Nikmati waktu di luar kesibukanmu. Sesekali, kamu perlu mengisi ulang baterai dari lingkungan sekitar.
● Memperkirakan tingkat stres karena burnout.
Ketika pekerjaan kian menumpuk dan kamu merasakan kelelahan luar biasa, maka saatnya bagimu untuk berhenti sebentar. Kamu perlu melakukan penilaian terhadap diri sendiri terkait kelelahan yang sedang dialami. Apakah akhir-akhir ini aku mudah sakit? Apakah aku sering mengalami sakit kepala dan di beberapa bagian tubuh? Apakah aku kesulitan untuk tetap fokus pada sesuatu? Apakah aku menjadi terlalu baperan? Apakah aku menghindari keluargaku dan temanku? Pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa menjadi indikator sederhana untuk memperkirakan seberapa parah burnout-mu. Bila mengalaminya, maka kamu perlu istirahat.
● Berhenti mengagungkan budaya kerja keras dan cepat.
Yuk, mulai refleksi diri dan melakukan evaluasi atas kerja kerasmu. Apakah selama ini kita melakukannya untuk alasan yang tepat? Bisa jadi kamu bekerja untuk kepuasan sementara. Misalnya kamu bekerja sangat keras dibandingkan orang lain karena ingin dipuji oleh teman, kolega, pengajar, bos, atau lainnya. Di satu sisi, pujian mampu memotivasi diri untuk bekerja atau mencapai sesuatu lebih baik. Namun, di sisi lain, ia berlaku di waktu itu saja. Pujian tidak akan selalu tertuju kepada orang yang sama. Orang lain pun tidak mengetahui apa yang sudah kamu korbankan demi mencapai pujian itu.
Kamu juga perlu mengingatkan orang sekitar untuk mulai mengurangi dan berhenti mengikuti hustle culture. Bantulah temanmu ketika ia menderita burnout. Gak ada salahnya berjalan lambat dan menghirup udara barang sejenak.
Kini, hustle culture sudah menjadi bagian dari masyarakat. Kita tidak bisa menghapus kebudayaan ini semudah itu. Alih-alih mengikuti arus, kamu perlu belajar sedikit demi sedikit untuk membuat batasan antara waktu pribadi dan kerja. Jika tidak, maka kamu akan menjadi korban berikutnya dari siklus bekerja keras tanpa istirahat.
Rafarda Septiardhya