Zoom Dysmorphia: Kecemasan Dibalik Zoom

Lavanya Podcast
2 min readSep 16, 2021

Selama pandemi, intensitas kita dalam menggunakan teknologi semakin sering. Pekerjaan yang tidak bisa dilakukan di kantor akhirnya berpindah ke rumah masing-masing. Bertatap muka secara daring pun kian umum dilakukan. Entah itu berkaitan dengan pekerjaan, kuliah, sekolah, atau sebatas videocall antar teman dan keluarga. Dibalik itu semua, ada sebuah kondisi tertentu yang menghantui para penggunanya. Kondisi ini disebut zoom dysmorphia.

Photo by Gabriel Benois on Unsplash

Umumnya, seseorang berkemungkinan mengalami zoom dysmorphia dikarenakan rasa kurang atau tidak percaya diri pada kondisi wajahnya, seperti hidung, gigi, telinga, kulit, atau area wajah lainnya saat berhadapan dengan layar atau kamera komputer. Secara tidak sadar, kegiatan demikian seakan menggambarkan perilaku berkaca. Rasa cemas lalu mulai muncul pada dirinya ketika bekerja secara daring yang perlu menggunakan kamera. Untuk melawan rasa tersebut, ia mencoba menemukan kekurangan yang ada pada wajah. Kemudian, ia berusaha terlihat sempurna sebelum mengaktifkan kamera. Ini semua dilakukan karena ia percaya bahwa orang lain akan fokus pada kekurangan yang dimilikinya. Selain itu, ia lebih memilih untuk menghindari interaksi sosial daripada menanggung malu. Seorang pakar turut menyatakan bahwa zoom dysmorphia mampu mengubah kecemasan seseorang menjadi perilaku ekstrem. Beberapa orang yang sudah tidak tahan dengan kondisi wajahnya memutuskan untuk melakukan operasi wajah di area-area tertentu. Padahal, apa yang tampak di layar atau kamera tidak seluruhnya nyata. Wajah bisa tampak berbeda disebabkan beberapa faktor, mulai dari kamera, pencahayaan, sudut pengambilan kamera, dan lain-lainnya.

Di saat pandemi kita menggunakan zoom hampir setiap hari. Tidak terasa, zoom menjadi kaca modern kita saat ini. Selain berkaca, zoom juga mampu melihat orang lain. Kita bahkan bisa “menilai” seseorang tanpa perlu bertemu langsung. Cukup klik zoom dan kita bisa bertemu dengan beragam manusia.

Zoom juga mampu memberikan efek malu yang sama besarnya seperti di dunia nyata. Meskipun daring, ada beberapa orang yang tetap merasakan percaya dirinya yang rendah. Jika merasakan demikian, maka mulailah untuk menerima diri sendiri apa adanya. Sedikit demi sedikit mulai membenahi cara berpikir kita menjadi lebih positif. Ada atau tanpa zoom, kita tetap sempurna dengan cara kita masing-masing.

Rafarda Septiardhya

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

Lavanya Podcast
Lavanya Podcast

Written by Lavanya Podcast

Started from a podcast and expanding to written sharing platform. Always believe in people power and our slogan “Love, Respect, Believe”.

No responses yet

Write a response