Zoom Dysmorphia: Kecemasan Dibalik Zoom
Selama pandemi, intensitas kita dalam menggunakan teknologi semakin sering. Pekerjaan yang tidak bisa dilakukan di kantor akhirnya berpindah ke rumah masing-masing. Bertatap muka secara daring pun kian umum dilakukan. Entah itu berkaitan dengan pekerjaan, kuliah, sekolah, atau sebatas videocall antar teman dan keluarga. Dibalik itu semua, ada sebuah kondisi tertentu yang menghantui para penggunanya. Kondisi ini disebut zoom dysmorphia.
Umumnya, seseorang berkemungkinan mengalami zoom dysmorphia dikarenakan rasa kurang atau tidak percaya diri pada kondisi wajahnya, seperti hidung, gigi, telinga, kulit, atau area wajah lainnya saat berhadapan dengan layar atau kamera komputer. Secara tidak sadar, kegiatan demikian seakan menggambarkan perilaku berkaca. Rasa cemas lalu mulai muncul pada dirinya ketika bekerja secara daring yang perlu menggunakan kamera. Untuk melawan rasa tersebut, ia mencoba menemukan kekurangan yang ada pada wajah. Kemudian, ia berusaha terlihat sempurna sebelum mengaktifkan kamera. Ini semua dilakukan karena ia percaya bahwa orang lain akan fokus pada kekurangan yang dimilikinya. Selain itu, ia lebih memilih untuk menghindari interaksi sosial daripada menanggung malu. Seorang pakar turut menyatakan bahwa zoom dysmorphia mampu mengubah kecemasan seseorang menjadi perilaku ekstrem. Beberapa orang yang sudah tidak tahan dengan kondisi wajahnya memutuskan untuk melakukan operasi wajah di area-area tertentu. Padahal, apa yang tampak di layar atau kamera tidak seluruhnya nyata. Wajah bisa tampak berbeda disebabkan beberapa faktor, mulai dari kamera, pencahayaan, sudut pengambilan kamera, dan lain-lainnya.
Di saat pandemi kita menggunakan zoom hampir setiap hari. Tidak terasa, zoom menjadi kaca modern kita saat ini. Selain berkaca, zoom juga mampu melihat orang lain. Kita bahkan bisa “menilai” seseorang tanpa perlu bertemu langsung. Cukup klik zoom dan kita bisa bertemu dengan beragam manusia.
Zoom juga mampu memberikan efek malu yang sama besarnya seperti di dunia nyata. Meskipun daring, ada beberapa orang yang tetap merasakan percaya dirinya yang rendah. Jika merasakan demikian, maka mulailah untuk menerima diri sendiri apa adanya. Sedikit demi sedikit mulai membenahi cara berpikir kita menjadi lebih positif. Ada atau tanpa zoom, kita tetap sempurna dengan cara kita masing-masing.
Rafarda Septiardhya