I Am a Guy, What Do You Expect?

Lavanya Podcast
2 min readJul 8, 2021

Memiliki seorang anak yang terlahir sebagai laki-laki, membuat para orang tua pasti mempunyai angan-angan untuk menjadikan anak tersebut kelak menjadi pria tangguh, kuat, dan dapat selalu diandalkan saat dewasa. Selain itu, pria digambarkan sebagai manusia yang berkuasa, memiliki agresivitas yang kadang konotasinya menimbulkan kekerasan, dan pria diharapkan tidak memiliki hati yang rapuh atau berlagak feminim. Namun, masih banyak sekali anggapan bahwa jika seorang pria memiliki sifat atau karakter yang berbeda dari pria semestinya, mereka akan dicap sebagai “pria banci”. Nah, sebenarnya ada apa sih dengan hal ini?

Photo by Amin Moshrefi on Unsplash

Akhir-akhir ini sering terdengar sebuah istilah yang disebut toxic masculinity, dikutip dari The New York Times, istilah tersebut memiliki arti bahwa seorang pria tidak bisa dengan secara terbuka untuk mengekspresikan perasaan dan emosinya, seorang pria juga diharapkan menjadi pria yang tangguh dan tidak lemah. Tanpa disadari, adanya toxic masculinity ini akan membebani setiap pria yang merasakan dirinya seperti dibatasi untuk melakukan sesuatu di luar hakikat menjadi definisi pria tangguh.

Dirangkum dari studiodjiwa, toxic masculinity sering terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Yang pertama adalah anggapan bahwa pria itu tidak boleh mengeluh dan menangis. Lalu anggapan bahwa pria yang melakukan aktivitas self-care dan self-love untuk merawat diri, memberikan reward kepada diri masing-masing adalah weird things to do yang semestinya tidak dilakukan oleh para pria. Hal ketiga terjadi ketika menghadapi sebuah konflik, pria diharuskan menunjukkan kejantanannya secara fisik dan emosional. Dan yang terakhir adalah, pria dinilai lebih keren ketika melakukan tindakan-tindakan yang beresiko, seperti merokok, kebut-kebutan, hingga mengonsumsi obat terlarang.

Terlepas dengan adanya toxic masculinity, pria seharusnya lebih bisa diberikan kesempatan untuk mengekspresikan apa yang mereka rasakan secara emosional. Hal tersebut bisa dilatih dengan cara apabila pria mengalami atau merasakan berbagai macam emosi, mereka diharapkan bisa mengekspresikannya secara terbuka. Dengan adanya toxic masculinity ini, pria sering merasakan dirinya willing to overcome everything that he has been through all these times, but deep down inside, they feel alone and having trouble ending the chain. Alhasil, pria bisa saja memendam emosi dan stres yang mereka rasakan tanpa tahu bagaimana cara menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.

Anggapan-anggapan yang merugikan ini seharusnya dipatahkan dengan banyaknya kasus pria yang meregang nyawa atau mengambil keputusan yang kurang tepat karena terlambat untuk meminta bantuan kepada para ahli, atau sekedar bercerita kepada sahabat saja kadang masih menimbulkan stereotype pria yang aneh. Pada dasarnya, pria dan wanita adalah sama-sama manusia yang memiliki rasa dan hati. So, it’s okay to be not okay, dudes!

fml

--

--

Lavanya Podcast

Started from a podcast and expanding to written sharing platform. Always believe in people power and our slogan “Love, Respect, Believe”.