Hedgehog’s Dilemma: Kian Dekat, Kian Sakit
Manusia adalah makhluk individual sekaligus sosial. Ada kalanya ia mampu sendiri. Namun, ia cenderung membutuhkan interaksi dengan manusia lain. Kamu berkenalan dengan seseorang dan menjalin hubungan akrab. Di sisi lain, kamu merasa ada hal-hal tertentu pada temanmu yang membuatmu merasa tersinggung atau tersakiti. Keputusanmu selanjutnya adalah membuat jarak tertentu sekaligus mengurangi hadirnya rasa sakit. Jika kamu pernah atau sedang berada di situasi demikian, mungkin kamu sedang berada di fase hedgehog’s dilemma.
Hedgehog’s dilemma bermula dari perumpamaan akan hewan porcupine yang memiliki duri lebih tajam dan berbahaya daripada hewan hedgehog. Hal ini pertama kali dikenalkan oleh seorang filsuf Jerman bernama Arthur Schopenhauer. Ia menulis tentang porcupine dari sudut pandangnya di dalam karyanya berjudul Parerga and Paralipomena.
Ia melihat sejumlah porcupine berkerumun bersama di tengah musim dingin. Namun, porcupine saling menusuk satu sama lain dengan durinya masing-masing dan kemudian berpencar. Hawa dingin menyerang kembali. Mau tidak mau porcupine harus berkumpul kembali. Mereka terus mengulang perilaku yang sama, berkumpul dan berpencar. Akhirnya porcupine menemukan cara agar mereka tetap bersama dalam kehangatan tanpa harus menyakiti kawan sekitar. Caranya yakni dengan membuat jarak antara satu porcupine dengan yang lain. Lalu, apa yang ingin dikatakan Schopenhauer dari perumpamaan hewan mamalia tersebut?
Schopenhauer melihat porcupine layaknya manusia. Manusia membutuhkan kehangatan manusia yang lain, seperti hubungan antar manusia, keintiman, dan kasih sayang. Hal ini tidak dapat dihindari. Akan tetapi, ketika berkumpul bersama, manusia bisa saling menolak dikarenakan adanya “duri” di sekitarnya. Duri itu berupa aturan sosial dan sifat dasar tiap manusia. Seiring berjalannya waktu, manusia menemukan jawabannya — menjaga jarak. Jarak ini menjadi satu-satunya jembatan agar manusia tidak menyakiti sesamanya. Kita mengenalnya dengan nama kesopanan dan tata krama. Kedua hal ini menjadi sesuatu yang bisa ditoleransi secara universal. Manusia bisa saling berhubungan tanpa menyakiti siapapun. Seseorang mampu terpuaskan kebutuhannya tanpa perlu tertusuk “duri” milik orang lain.
Schopenhauer juga menambahkan bahwa ada porcupine yang bisa menghangatkan dirinya sendiri. Maksud dari Schopenhauer yakni bahwa ada manusia yang mampu bertahan tanpa adanya interaksi sosial. Di dalam kesendirian, para manusia ini bahkan bisa berkembang.
Hedgehog’s dilemma memberitahu bahwa kita hidup dan saling terhubung. Disisi lain, kita berpeluang besar menjadi hampa tanpa interaksi antar sesama. Kita pun bahkan bisa sangat terhubung hingga harus menanggung pahitnya rasa sakit.
Rafarda Septiardhya