Diglosia dalam Bahasa Indonesia
Seperti yang sudah diketahui, bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional. Ia ditetapkan sebagai bahasa nasional pada tanggal yang sama seperti hari kemerdekaan Indonesia, yakni 17 Agustus 1945.
Bahasa Indonesia juga merupakan bahasa pemersatu bangsa. Hal ini mengingat latar belakang negara Indonesia yang sebelumnya merupakan kerajaan-kerajaan daerah yang memiliki bahasanya masing-masing. Dengan demikian, bahasa Indonesia adalah alat komunikasi utama bagi penduduk Indonesia yang memiliki latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda-beda.
Seiring berjalannya waktu, bahasa Indonesia mengalami berbagai perubahan. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena bahasa, terutama bahasa lisan, memiliki sifat dinamis. Bahasa Indonesia yang telah melalui standarisasi oleh pemerintah pun tetap mengalami perkembangan. Misal kita menggunakan bahasa standar ketika berbincang di ruang publik. Sedangkan ketika di rumah kita menggunakan dialek lokal. Hal tersebut merupakan cikal bakal kemunculan diglosia.
Diglosia merupakan dua atau lebih variasi dari sebuah bahasa yang digunakan oleh penuturnya dalam situasi yang berbeda. Contohnya adalah bahasa standar dan dialek lokal dimana bahasa standar berada pada tingkatan lebih tinggi daripada dialek lokal.
Kondisi tersebut kemudian memunculkan high variety dan low variety. High variety adalah bahasa standar, lalu low variety adalah dialek lokal. Jika dihubungkan dengan bahasa Indonesia, maka high variety merupakan bahasa formal dan low variety merupakan bahasa informal.
Diglosia dibagi menjadi 9 fitur menurut situasinya.
- High variety digunakan di bidang pendidikan, administratif, dan keagamaan, sedangkan low variety di lingkaran personal (keluarga, teman) dan transaksi jual beli.
- High variety memiliki nilai lebih tinggi atau unggul di mata masyarakat, sedangkan low variety dianggap tidak bernilai, rusak, dan bersifat sementara.
- High variety dipakai dalam penulisan karya sastra.
- High variety dipelajari di institusi pendidikan seperti sekolah. Lalu low variety dipelajari secara alami di lingkungan paling terdekat, yakni keluarga.
- High variety cenderung dipelajari dan dikembangkan melalui berbagai penelitian bahasa dan pembuatan kamus. Berbeda jauh dengan low variety yang jarang dikembangkan. Itu karena penuturnya beranggapan bahwa tata bahasa low variety sama seperti tata bahasa high variety namun dengan bentuk tidak baik.
- High variety dan low variety mampu hidup berdampingan cukup lama. Seiring bergulirnya waktu, high variety sedikit mengalami perubahan. Hal ini berbeda jauh dengan low variety yang terus berubah.
- High variety memiliki tatanan bahasa yang kompleks daripada low variety. Itu karena high variety mengikuti aturan-aturan baku yang memperlihatkan betapa tingginya atensi yang diberikan oleh para ahli tata bahasa. Sedangkan low variety memiliki tatanan bahasa yang lebih sederhana. Maka bisa disimpulkan bahwa penguasaan high variety yang baik berhubungan erat dengan tingkat pendidikan seseorang.
- High variety dan low variety mempunyai kosakata yang sebagian besar sama. Hanya saja, terdapat kosakata-kosakata tertentu bersifat teknis yang hanya bisa ditemukan di high variety. Bahkan ada kemungkinan bahwa masing-masing dari high variety dan low variety memiliki kata berbeda untuk suatu konsep yang sama.
- High variety dan low variety mempunyai bunyi yang sama ketika diucapkan. Akan tetapi, pengucapan pada low variety cenderung lebih sederhana dan mendapat banyak pengaruh dari bahasa lain.
Lebih lanjut, beberapa contoh bahasa formal yang bisa ditemukan yakni di pidato-pidato keagamaan, surat pribadi, pidato politik, perkuliahan, siaran berita, surat kabar, dan puisi.
Contoh lain untuk bahasa informal yakni instruksi kepada pelayan, percakapan antar keluarga, teman, atau kolega, drama televisi, animasi, dan cerita rakyat.
Jika kamu memperhatikan lingkungan sekitarmu dengan seksama, maka kamu akan tahu dan bisa membedakan mana sajakah yang termasuk bahasa formal maupun informal.
Rafarda Septiardhya
Referensi
Nadzir, I. (2021). Milenial dan Nasionalisme di Indonesia. In Nasionalisme ala Milenial: Sebuah Disrupsi? (p. 400). https://e-service.lipipress.lipi.go.id/press/catalog/book/314%0Ahttps://doi.org/10.14203/press.314