Cancel Culture: Tren Budaya di Era Digital
Budaya “membatalkan” atau cancel merupakan budaya yang masih dikatakan baru di Indonesia. Meskipun demikian, budaya ini sebenarnya sudah ada cukup lama. Budaya ini merujuk pada sebuah perilaku menarik dukungan untuk meng-cancel tokoh publik serta perusahaan yang menaunginya. Alasannya yakni sang tokoh publik melakukan atau mengucapkan sesuatu yang dianggap menyakiti atau menyinggung publik. Cancel Culture sering ditemukan di media sosial. Para pengguna mempraktikannya secara berkelompok dengan tujuan untuk mempermalukan orang tersebut di muka publik.
“The ‘cancel culture’ debate gets the fight for free speech entirely wrong.” — Eve Fairbanks, The Washington Post (headline), July 28, 2020
Konsep cancel sendiri berarti membatalkan atau mengakhiri sesuatu. Ini sama halnya ketika kamu menonton sesuatu dan tidak minat lagi untuk mengikutinya dikarenakan suatu hal. Kamu akan menyudahi apa yang sedang ditonton dan meninggalkannya. Konsep inilah yang kemudian akhirnya digunakan untuk “mengakhiri” seseorang. Ketika di-cancel, maka ia tidak memiliki dukungan apapun dari publik. Sehubungan dengan itu, maka tokoh publik — aktor, penyanyi, pembawa acara, dan masih banyak yang lainnya — berkemungkinan besar akan kehilangan pekerjaan, reputasi, atau kesempatan kerja setelah mendapatkan perlakuan Cancel Culture.
Biasanya, penyerangan dengan cara Cancel Culture muncul disebabkan oleh si tokoh publik telah ketahuan melakukan hal yang hina. Orang-orang akan menyerukan perilaku buruknya, memboikot karyanya dengan tidak menonton filmnya atau mendengarkan musiknya, dan mencoba untuk mengambil panggung serta kekuatan publiknya. Lagi-lagi, kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan melalui media sosial. Alasan yang melatarbelakangi praktik Cancel Culture ini bisa beragam, seperti terkena kasus pelecehan seksual, rasis, kekerasan, dan perilaku buruk lainnya.
Banyak perbuatan Cancel Culture tidak hanya membuka aib saat ini, tapi juga masa lalu. Publik pun menjadi terlalu tertarik dan berpusat dengan kejadian tersebut. Mereka secara sadar maupun tidak sadar mencari kesalahan seseorang yang bisa berujung merusak kehidupannya juga. Media sosial menjadi suatu tempat justifikasi berdasarkan sudut pandang beberapa orang saja. Tidak hanya itu, kegiatan cancel juga menjadi cara untuk menolak siapapun yang tidak disetujui atau disukai oleh orang-orang tertentu.
Cancel Culture masih sulit untuk dihindari ataupun dikontrol. Salah satu rantai untuk memutuskan budaya ini yakni dimulai dengan diri sendiri. Kita tidak perlu mengekspos apa yang sedang dan sudah terjadi pada seseorang. Kita tidak tahu efek dari setiap ketikan jari kita untuk seseorang. Dibalik budaya cancel yang diterima melalui media sosial, ada perjuangan seseorang yang mencoba untuk meraih hidupnya kembali.
Rafarda Septiardhya