Budaya Oversharing di Tengah Kehidupan Manusia
Siapa yang tidak suka ngobrol? Entah itu isi percakapannya berbobot atau tidak, kita tetap menikmatinya. Sudah fitrahnya bahwa kita adalah makhluk sosial. Akan tetapi, apakah kamu tahu ada hal-hal tertentu yang sebaiknya tidak diutarakan?
Jika berbicara mengenai hal umum, maka boleh-boleh saja. Percakapan justru menjadi riskan bila salah seorang mulai membahas topik pribadi. Kamu butuh seorang pendengar tetapi dibarengi membuka informasi terlalu detail. Perilaku tersebut disebut oversharing.
Oversharing adalah tindakan membocorkan informasi pribadi dan berkesan blak-blakan. Ia bisa ditemukan di dunia maya maupun nyata. Seseorang yang sering menampilkan kegiatan sehari-harinya di sosial media, seperti menulis status atau mengunggah foto bersifat personal, adalah contoh oversharing di dunia maya. Sedangkan oversharing di dunia nyata bisa berupa pertemuan tatap muka dan membicarakan hal-hal pribadi.
Sosial media semakin memperkeruh oversharing. Orang semakin mudah memberikan akses kepada orang asing akan kehidupan pribadinya. Padahal perilaku demikian bisa mengundang kekesalan karena terkesan mencari perhatian.
Misal, kamu sedang mengalami masalah dan sosial media adalah tempat pelampiasan keluhanmu. Entah itu menggunakan akun pribadi atau alter, statusmu masih tetap bisa dibaca oleh banyak orang. Tulisanmu mengandung hal-hal terlalu “informatif” dan bisa membahayakan dirimu sendiri.
Lalu, mengapa oversharing bisa terjadi? Kamu mungkin kesepian dan ingin terhubung dengan seseorang. Selain itu, kamu merasa cemas dan akhirnya menceritakan apapun, tak terkecuali kehidupanmu.
Oversharing cenderung terjadi karena adanya ketidaksengajaan. Kamu bertemu seseorang, menceritakan kisahmu, lalu tersadar tiba-tiba bahwa sebanyak itu dirimu memperlihatkan siapa kamu sebenarnya. Ada beberapa kasus di mana oversharing dilandasi kesengajaan. Mungkin kamu sebenarnya sadar akan tindakanmu yang terlalu terbuka dan tidak mempermasalahkannya.
Maka dari itu, kamu perlu menanamkan sedini mungkin batasan kepada dirimu sendiri. Dengan siapa saja kamu ingin berkenalan, apa yang bisa dan tidak bisa dipublikasikan ke publik, siapa saja orang-orang yang boleh mengetahui kehidupanmu sesungguhnya, itu semua adalah keputusanmu seorang.
Ketika curhat tanpa ada filter apapun, kita turut melepas rasa negatif yang ada pada diri kita di saat yang bersamaan. Lega sih, tetapi apakah benar-benar demikian?
Lalu apa ekspektasimu setelah menceritakan masalahmu? Sekadar ingin didengarkan atau meminta feedback? Kamu juga perlu memahami bahwa tidak setiap orang memiliki jawaban atas permasalahanmu. Kurangi ekspektasimu sebelum kekecewaan muncul.
Pada akhirnya, semua kembali kepada dirimu. Akan lebih baik jika hal-hal yang diketahui olehmu cukup kamu seorang atau orang-orang yang benar-benar dekat denganmu.
Rafarda Septiardhya